watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

SELINGKUH DENGAN KADER PARTAI
<

Malam itu tanggal 2 Juni 2009 sekitar pukul 21.30.
Aku di dalam mobilku sedang keliling-keliling kota
Jakarta. Rencananya aku hendak meliput
persiapan kampanye partai-partai yang katanya
sudah ada di seputar HI. Aneh, kampanye
resminya besok, tapi sudah banyak yang
bercokol di putaran HI sejak malam ini.
Kelihatannya mereka tidak mau kalah dengan
partai-partai lain yang kemarin dan hari ini telah
memanjat patung selamat datang, memasang
bendera mereka di sana. Tercatat pp, PND, PBB,
PKB, PAN dan PK telah berhasil. Dengan korban
beberapa orang tentu saja. Entah apa yang dikejar
mereka, para simpatisan itu. Kebanggaan? Atau
sebuah ketololan. Kalau ternyata mereka tewas
atau cedera, berartikah pengorbanan mereka?
Apakah para ketua partai itu kenal sama mereka?
Apakah pemimpin partai itu menghargai
kenekadan mereka? Lho, kok aku bicara politik.
Biarinlah. Macam-macam saja ulah mereka,
maklumlah sudah saat kampanye terakhir buat
partai-partai di Jakarta ini.
Di depan kedutaan Inggris aku parkirkan mobilku,
bersama banyak mobil lainnya. Memang aku lihat
ada beberapa kelompok, masing-masing dengan
bendera partai mereka dan atribut yang
bermacam-macam. Aku keluarkan kartu persku,
tergantung di leher. Juga Nikon, kawan baik yang
menjadi sumber nafkahku. Aku mendekati
kerumunan simpatisan partai. Bergabung dengan
mereka. Berusaha mencari informasi dan
momen-momen penting yang mungkin akan
terjadi.
Saat itulah pandanganku bertemu dengan tatap
mata seorang gadis yang bergerombol dengan
teman-temannya di atap sebuah mini bus.
Wajahnya yang cantik tersenyum kepadaku.
Gadis itu memakai kaos partai yang mengaku
reformis,—aku rahasiakan saja baiknya—yang
telah dipotong sedikit bagian bawahnya, sehinggs
seperti model tank top, sedangkan bawahannya
memakai mini skirt berwarna putih. Di antara
teman-temannya, dia yang paling menonjol.
Paling lincah, paling menarik.
“Mas, Mas wartawan ya?” katanya kepadaku.
“Iya”.
“Wawancarai kita dong”, Salah seorang
temannya nyeletuk.
“Emang mau?”.
“Tentu dong. Tapi photo kita dulu”
Mereka beraksi saat kuarahkan kameraku kepada
mereka. Dengan lagak dan gaya masing-masing
mereka berpose.
“Kenapa sudah ada di sini, sih? Bukankah ____
(nama partai) baru besok kampanyenya?”.
“Biarin Mas, daripada besok dikuasai partai lain?”.
“Memang akan terus di sini? Sampai pagi?”.
“Iya, demi ____ (nama partai), kami rela begadang
semalaman.”
“Hebat.”
“Mas di sini aja, Mas. Nanti pasti ada lagi yang
ingin manjat tugu selamat datang.” Kata gadis
yang menarik perhatianku itu.
Aku pun duduk dekat mereka, berbincang
tentang pemilu kali ini. Harapan-harapan mereka,
tanggapan mereka, dan pendapat mereka. Mereka
lumayan loyal terhadap partai mereka itu,
walaupun tampak sedikit kecewa, karena
pemimpin partai mereka itu kurang berani bicara.
Padahal diproyeksikan untuk menjadi calon
presiden. Aku maklum, karena tahu latar belakang
pemimpin yang mereka maksudkan itu.
“Eh, nama kalian siapa?” Tanyaku, “Aku Bayu.”
“Saya Naila.” Kata cewek manis itu, lalu teman-
temannya yang lain pun menyebut nama. Kami
terus bercakap-cakap, sambil minum teh botol
yang dijual pedagang asongan.
Waktu terus berlalu. Beberapa kali aku
meninggalkan mereka untuk mengejar sumber
berita. Malam itu bundaran HI didatangi Kapolri
yang meninjau dan ‘menyerah’ melihat massa
yang telah bergerombol untuk pawai dan
kampanye, karena jadwal resminya adalah pukul
06.00 – 18.00.
Saat aku kembali, gerombolan Naila masih ada di
sana.
“Saya ke kantor dulu ya, memberikan kaset
rekaman dan hasil photoku. Sampai ketemu.”
Pamitku.
“Eh, Mas, Mas Bayu! Kantornya “x” (nama
koranku), khan. Boleh saya menumpang?” Naila
berteriak kepadaku.
“Kemana?”
“Rumah. Rumah saya di dekat situ juga.”
“Boleh saja.” Kataku, “Tapi katanya mau tetap di
sini? Begadang?”
“Nggak deh. Ngantuk. Boleh ya? Gak ada yang
mau ngantarin nih.”
Aku pun mengangguk. Tapi dari tempatku
berdiri, aku dapat melihat di dalam mini bus itu
ada sepasang remaja berciuman.
Benar-benar kampanye, nih? Sama saja kejadian
waktu meliput demontrasi mahasiswa dulu.
Waktu teriak, ikutan teriak. Yang pacaran, ya
pacaran. (Ini cuma sekedar nyentil, lho. Bukan
menghujat. Angkat topi buat gerakan mahasiswa
kita! Peace!)
Naila menggandengku. Aku melambai pada
rekan-rekannya.
“Naila! Pulang lho! Jangan malah” Teriak salah
seorang temannya.
Naila cuma mengangkat tinjunya, tapi matanya
kulihat mengedip.
Lalu kami pun menuju mobilku. Dengan lincah
Naila telah duduk di sampingku. Mulutnya
berkicau terus, bertanya-tanya mengenai
profesiku. Aku menjawabnya dengan senang
hati. Terkadang pun aku bertanya padanya. Dari
situ aku tahu dia sekolah di sebuah SMA di daerah
Bulungan, kelas 2. Tadi ikut-ikutan teman-
temannya saja. Politik? Pusing ah mikirinnya.
Usianya baru 17 tahun, tapi tidak mendaftar
pemilu tahun ini. Kami terus bercakap-cakap. Dia
telah semakin akrab denganku.
“Kamu sudah punya pacar, belum?” Tanyaku.
“Sudah.” Nadanya jadi lain, agak-agak sendu.
“Tidak ikut tadi?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Lagi marahan aja.”
“Wah.., gawat nih.”
“Biarin aja.”
“Kenapa emangnya?”
“Dia ketangkap basah selingkuh dengan temanku,
tapi tidak mengaku.”
“Perang, dong?”
“Aku marah! Eh dia lebih galak.”
“Dibalas lagi dong. Jangan didiemin aja.”
“Gimana caranya?” Tanyanya polos.
“Kamu selingkuh juga.” Jawabku asal-asalan.
“Bener?”
“Iya. Jangan mau dibohongin, cowok tu selalu
begitu.”
“Lho, Mas sendiri cowok.”
“Makanya, aku tak percaya sama cowok.
Sumpah, sampai sekarang aku tak pernah
pacaran sama cowok. Hahaha.”
Dia ikut tertawa.
Aku mengambil rokok dari saku depan kemejaku,
menyalakannya. Naila meminta satu rokokku.
Anak ini badung juga. Sambil merokok, dia
tampak lebih rileks, kakinya tanpa sadar telah
nemplok di dashboardku. Aku merengut, hendak
marah, tapi tak jadi, pahanya yang mulus
terpampang di depanku, membuat gondokku
hilang.
Setelah itu aku mulai tertarik mencuri-curi
pandang. Naila tak sadar, dia memejamkan mata,
menikmati asap rokok yang mengepul dan keluar
melalui jendela yang terbuka. Gadis ini benar-
benar cantik. Rambutnya panjang. Tubuhnya
indah. Dari baju kaosnya yang pendek, dapat
kulihat putih mulus perutnya. Dadanya
mengembang sempurna, tegak berisi.
Tanpa sadar penisku bereaksi.
Aku menyalakan tape mobilku. Naila
memandangku saat sebuah lagu romantis
terdengar.
“Mas, setelah ini mau kemana?”
“Pulang. Kemana lagi?”
“Kita ke pantai saja yuk. Aku suntuk nih.” Katanya
menghembuskan asap putih dari mulutnya.
“Ngapain”
“Lihat laut, ngedengerin ombak, ngapain aja deh.
Aku males pulang jadinya. Selalu ingat Ipet, kalau
aku sendirian.”
“Ipet?”
“Pacarku.”
“Oh. Tapi tadi katanya ngantuk?”
“Udah terbang bersama asap.” Katanya,
tubuhnya doyong ke arahku, melingkarkan
lengan ke bahuku, dadanya menempel di pangkal
tangan kiriku. Hangat.
“Bolehlah.” Kataku, setelah berpikir kalau besok
aku tidak harus pagi-pagi ke kantor. Jadi setelah
mengantar materi yang kudapat kepada rekanku
yang akan membuat beritanya, aku dan Naila
menuju arah utara. Ancol! Mana lagi pantai di
Jakarta ini.
Aku parkirkan mobil Kijangku di pinggir pantai
Ancol. Di sana kami terdiam, mendengarkan
ombak, begitu istilah Naila tadi. Sampai setengah
jam kami hanya berdiam. Namun kami duduk
telah semakin rapat, sehingga dapat kurasakan
lembutnya tubuh yang ada di sampingku.
Tiba-tiba Naila mencium pipiku.
“Terima kasih, Mas Bayu.”
“Untuk apa?”
“Karena telah mau menemani Naila.”
Aku hanya diam. Menatapnya. Dia pun
menatapku. Perlahan menunduk. Kunikmati
kecantikan wajahnya. Tanpa sadar aku raih
wajahnya, dengan sangat perlahan-lahan
kudekatkan wajahku ke wajahnya, aku cium
bibirnya, lalu aku tarik lagi wajahku agak
menjauh. Aku rasakan hatiku tergetar, bibirku
pun kurasakan bergetar, begitu juga dengan
bibirnya. Aku tersenyum, dan ia pun tersenyum.
Kami berciuman kembali. Saat hendak
merebahkannya, setir mobil menghalang gerakan
kami. Kami berdua pindah ke bangku tengah
Kijangku. Aku cium kening Naila terlebih dahulu,
kemudian kedua matanya, hidungnya, kedua
pipinya, lalu bibirnya. Naila terpejam dan
kudengar nafasnya mulai agak terasa memburu,
kami berdua terbenam dalam ciuman yang
hangat membara. Tanganku memegang
dadanya, meremasnya dari balik kaos tipis dan
bhnya.
Sesaat kemudian kaos itu telah kubuka. Aku
arahkan mulutku ke lehernya, ke pundaknya, lalu
turun ke buah dadanya yang indah, besar,
montok, kencang, dengan puting yang
memerah. Tanganku membuka kaitan BH
hitamnya. Aku mainkan lidahku di puting kedua
buah dadanya yang mulai mengeras. Yang kiri
lalu yang kanan.
“Mas Bayu, kamu tau saja kelemahan saya, saya
paling nggak tahan kalo dijilat susu saya, aahh”.
Aku pun sudah semakin asyik mencumbu dan
menjilati puting buah dadanya, lalu ke perutnya,
pusarnya, sambil tanganku membuka mini
skirtnya.
Terpampanglah jelas tubuh telanjang gadis itu.
Celana dalamnya yang berwarna hitam,
menerawangkan bulu-bulu halus yang ada di
situ. Kuciumi daerah hitam itu.
Aku berhenti, lalu aku bertanya kepada Naila
“Naila kamu udah pernah dijilatin itunya?”
“Belum, kenapa?”.
“Mau nyoba nggak?”.
Naila mengangguk perlahan.
Takut ia berubah pikiran, tanpa menunggu lebih
lama lagi langsung aku buka celana dalamnya,
dan mengarahkan mulutku ke kemaluan Naila
yang bulunya lebat, kelentitnya yang memerah
dan baunya yang khas. Aku keluarkan ujung
lidahku yang lancip lalu kujilat dengan lembut
klitorisnyana.
Beberapa detik kemudian kudengar desahan
panjang dari Naila
“sstt Aahh!!!”
Aku terus beroperasi di situ
“aahh, Mas Bayu, gila nikmat bener, Gila, saya
baru ngerasain nih nikmat yang kayak gini, aahh,
saya nggak tahan nih, udah deh”
Lalu dengan tiba-tiba ia menarik kepalaku dan
dengan tersenyum ia memandangku. Tanpa
kuduga ia mendorongku untuk bersandar ke
bangku, dengan sigapnya tangannya membuka
sabuk yang kupakai, lalu membuka zipper jins
hitamku. Tangannya menggapai kemaluanku
yang sudah menegang dan membesar dari tadi.
Lalu ia memasukkan batang kemaluanku yang
besar dan melengkung kedalam mulutnya.
“aahh” Lenguhku
Kurasakan kehangatan lidah dalam mulutnya.
Namun karena dia mungkin belum biasa, giginya
beberapa kali menyakiti penisku.
“Aduh Naila, jangan kena gigi dong, Sakit. Nanti
lecet”
Kuperhatikan wajahnya, lidahnya sibuk menjilati
kepala kemaluanku yang keras, ia jilati melingkar,
ke kiri, ke kanan, lalu dengan perlahan ia tekan
kepalanya ke arahku berusaha memasukkan
kemaluanku semaksimal mungkin ke dalam
mulutnya. Namun hanya seperempat dari
panjang kemaluanku saja kulihat yang berhasil
terbenam dalam mulutnya.
“Ohk!.., aduh Mas Bayu, cuma bisa masuk
seperempat”
“Ya udah Naila, udah deh jangan dipaksaain, nanti
kamu tersedak.”
Kutarik tubuhnya, dan kurebahkan ia di seat
Kijangku. Lalu ia membuka pahanya agak lebar,
terlihat samar-samar olehku kemaluannya sudah
mulai lembab dan agak basah. Lalu kupegang
batang kemaluanku, aku arahkan ke lubang
kemaluannya. Aku rasakan kepala kemaluanku
mulai masuk perlahan, kutekan lagi agak
perlahan, kurasakan sulitnya kemaluanku
menembus lubang kemaluannya.
Kudorong lagi perlahan, kuperhatikan wajah Naila
dengan matanya yang tertutup rapat, ia
menggigit bibirnya sendiri, kemudian berdesah.
“sstt, aahh, Mas Bayu, pelan-pelan ya
masukkinnya, udah kerasa agak perih nih”
Dan dengan perlahan tapi pasti kudesak terus
batang kemaluanku ke dalam lubang kemaluan
Naila, aku berupaya untuk dengan sangat hati-hati
sekali memasukkan batang kemaluanku ke lubang
vaginanyana. Aku sudah tidak sabar, pada suatu
saat aku kelepasan, aku dorong batang
kemaluanku agak keras. Terdengar suara aneh.
Aku lihat ke arah batang kemaluanku dan
kemaluan Naila, tampak olehku batang kontolku
baru setengah terbenam kedalam kemaluannya.
Naila tersentak kaget.
“Aduh Mas Bayu, suara apaan tuh?”
“Nggak apa-apa, sakit nggak?”
“Sedikit”
“Tahan ya.., sebentar lagi masuk kok”
Dan kurasakan lubang kemaluan Naila sudah
mulai basah dan agak hangat. Ini menandakan
bahwa lendir dalam kemaluan Naila sudah mulai
keluar, dan siap untuk penetrasi. Akhirnya aku
desakkan batang kemaluanku dengan cepat dan
tiba-tiba agar Naila tidak sempat merasakan sakit,
dan ternyata usahaku berhasil, kulihat wajah Naila
seperti orang yang sedang merasakan
kenikmatan yang luar biasa, matanya setengah
terpejam, dan sebentar-sebentar kulihat mulutnya
terbuka dan mengeluarkan suara. “sshh, sshh”
Lidahnya terkadang keluar sedikit membasahi
bibirnya yang sensual. Aku pun merasakan
nikmat yang luar biasa. Kutekan lagi batang
kemaluanku, kurasakan di ujung kemaluanku ada
yang mengganjal, kuperhatikan batang
kemaluanku, ternyata sudah masuk tiga
perempat kedalam lubang memek Naila.
Aku coba untuk menekan lebih jauh lagi, ternyata
sudah mentok, kesimpulannya, batang
kemaluanku hanya dapat masuk tiga perempat
lebih sedikit ke dalam lubang kemaluan Naila. Dan
Naila pun merasakannya.
“Aduh Mas Bayu, udah mentok, jangan dipaksain
teken lagi, perut saya udah kerasa agak negg nih,
tapi nikmat…., aduh, barangmu gede banget sih
Mas Bayu”
Aku mulai memundur-majukan pantatku,
sebentar kuputar goyanganku ke kiri, lalu ke
kanan, memutar, lalu kembali ke depan ke
belakang, ke atas lalu ke bawah. Kurasakan betapa
nikmat rasanya kemaluan Naila, ternyata lubang
kemaluan Naila masih sempit, walaupun bukan
lagi seorang perawan. Ini mungkin karena ukuran
batang kemaluanku yang menurut Naila besar,
panjang dan kekar. Lama kelamaan goyanganku
sudah mulai teratur, perlahan tapi pasti, dan Naila
pun sudah dapat mengimbangi goyanganku,
kami bergoyang seirama, berlawanan arah, bila
kugoyang ke kiri, Naila goyang ke kanan, bila
kutekan pantatku Naila pun menekan pantatnya.
Semua aku lakukan dengan sedikit hati-hati,
karena aku sadar betapa besar batang
kemaluanku untuk Naila, aku tidak mau
membuatnya menderita kesakitan. Dan usahaku
ini berjalan dengan mulus. Sesekali kurasakan jari
jemari Naila merenggut rambutku, sesekali
kurasakan tangannya mendekapku dengan erat.
Tubuh kami berkeringat dengan sedemikian rupa
dalam ruangan mobil yang mulai panas, namun
kami tidak peduli, kami sedang merasakan nikmat
yang tiada tara pada saat itu. Aku terus
menggoyang pantatku ke depan ke belakang,
keatas kebawah dengan teratur sampai pada
suatu saat.
“Aahh Mas Bayu, agak cepet lagi sedikit
goyangnya, saya kayaknya udah mau keluar nih”
Naila mengangkat kakinya tinggi, melingkar di
pinggangku, menekan pantatku dengan erat dan
beberapa menit kemudian semakin erat, semakin
erat, tangannya sebelah menjambak rambutku,
sebelah lagi mencakar punggungku, mulutnya
menggigit kecil telingaku sebelah kanan, lalu
terdengar jeritan dan lenguhan panjang dari
mulutnya memanggil namaku.
“Mas Bayu, aahh, mmhhaahh, Aahh” Dia
kelojotan. Kurasakan lubang kemaluannya
hangat, menegang dan mengejut-ngejut
menjepit batang kemaluanku.
“aahh, gila, Ini nikmat sekali” Teriakku.
Baru kurasakan sekali ini lubang kemaluan bisa
seperti ini. Tak lama kemudian aku tak tahan lagi,
kugoyang pantatku lebih cepat lagi keatas
kebawah dan, Tubuhku mengejang.
“Mas Bayu, cabut, keluarin di luar”
Dengan cepat kucabut batang kemaluanku lalu
sedetik kemudian kurasakan kenikmatan luar
biasa, aku menjerit tertahan
“aahh, ahh” Aku mengerang.
“Ngghh, ngghh..”
Aku pegang batang kemaluanku sebelah tangan
dan kemudian kurasakan muncratnya air maniku
dengan kencang dan banyak sekali keluar dari
batang kemaluanku.
Chrootth, chrootthh, crothh, craatthh, sebagian
menyemprot wajah Naila, sebagian lagi ke
payudaranya, ke dadanya, terakhir ke perut dan
pusarnya.
Kami terkulai lemas berdua, sambil berpelukan.
“Mas Bayu, nikmat banget main sama kamu,
rasanya beda sama kalo saya gituan sama Ipet.
Enakan sama kamu. Kalau sama Ipet, saya tidak
pernah orgasme, tapi baru sekali disetubuhi
kamu, saya bisa sampai, barang kali karena
barang kamu yang gede banget ya?” Katanya
sambil membelai penisku yang masih tegang,
namun tidak sekeras tadi.
“Saya nggak bakal lupa deh sama malam ini, saya
akan inget terus malem ini, jadi kenangan manis
saya”
Aku hanya tersenyum dengan lelah dan berkata
“Iya Naila, saya juga, saya nggak bakal lupa”.
Kami pun setelah itu menuju kostku, kembali
memadu cinta. Setelah pagi, baru aku
mengantarnya pulang. Dan berjanji untuk
bertemu lagi lain waktu, untuk mengukir kisah
cinta mesum kami.


Adult | GO HOME | Exit
1/1087
U-ON

inc Powered by Xtgem.com